Sunday, August 9, 2015

 

Beberapa waktu lalu, cukup gencar beredar berita mengenai bintang di dunia hiburan yang terlibat dalam dunia prostitusi. Sebagai orangtua, isu ini tentu mengkhawatirkan. Jangan sampai putri kesayangan kita terjerumus dalam lubang gelap ini. Sebenarnya, apa yang membuat para bintang terjerumus dalam dunia tersebut?
Psikolog Ariani L. Mansyur, dalam bukunya berjudul "Wanita dan Gaya Hidup Hedonisme" menjelaskan kebiasaan hidup hura-hura seringkali menjadi penyebab seseorang nekat terjun ke dunia prostitusi, semua demi memenuhi kebutuhan gaya hidup mewah.
Apa itu hedonisme? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hedonisme adalah sebuah perilaku atau pandangan hidup yang menganggap bahwa kenikmatan materi adalah tujuan utama kehidupan. Nah, demi melindungi putra dan putri kita, sebagai orangtua sudah selayaknya kita memberi pemahaman agar mereka terhindar dari hedonisme. Nilai-nilai apa saja yang harus ditanamkan?
1. Dekatkan diri kepada Tuhan
Ajaran agama akan menuntun seseorang ke jalan terang, karena itu didik mereka supaya lebih mendekatkan diri kepada Tuhan supaya tidak mudah tergoda oleh iming-iming kenikmatan sesaat dunia.
2. Hidup sederhana
Kesederhanaan adalah awal kebahagiaan. Karena itu, sejak anak-anak masih kecil, beri pengertian bahwa hidup sederhana bukan berarti selalu kekurangan, melainkan sebuah cara hidup yang bertujuan untuk menjauhkan diri dari sikap tamak dan serakah.
3. Bekerja keras
Anak-anak perlu memahami bahwa untuk bisa tetap bertahan hidup, mereka harus mau bekerja keras. Bekerja adalah sebuah kewajiban karena ketika mereka sudah berumah tangga nanti bekerja juga menjadi bentuk amal ibadah.
4. Tidak konsumtif
Didik mereka supaya mampu memanfaatkan uang dengan bijaksana. Arahkan supaya mereka tidak bersikap konsumtif dan menghambur-hamburkan uanganya untuk berbelanja kebutuhan yang tidak perlu. Ajari juga mereka supaya mampu memilah mana kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder.
5. Jangan selalu menuruti keinginannya
Jangan selalu menuruti keinginan buah hati Anda, jika tidak Anda sudah mengajari mereka untuk tumbuh menjadi pribadi yang egois dan manja.
6. Selalu bersyukur
Terkadang kesulitan hidup yang sedang dihadapi dapat membuat seseorang menjadi lebih rendah hati serta penuh syukur. Karenanya, ajari anak-anak untuk selalu bersyukur dengan apa yang sudah dimilikinya.
7. Berhati-hati dalam memilih teman
Tidak semua bisa dijadikan teman. Anak-anak harus mengetahui bahwa pengaruh terbesar dalam kehidupannya banyak berasal dari teman. Karena itu, himbau kepada mereka agar selalu berhati-hati saat memilih teman.
8. Harta benda bukanlah segalanya
Anak-anak perlu mengerti bahwa harta di dunia ini bukanlah segalanya. Bahwa kebahagiaan sejati hanya datang dari nurani yang merasa tenteram dan keluarga yang bahagia.
9. Tidak mudah merasa iri terhadap orang lain
Ajari anak Anda agar tidak mudah merasa iri terhadap orang lain. Iri hati tidak akan pernah mendatangkan sukacita. Karena itu, bila mereka menginginkan sesuatu yang orang lain miliki, anjurkan kepada mereka supaya bekerja dengan keras untuk bisa mendapatkannya.
10. Berikan contoh melalui teladan Anda
Biarkan anak-anak melihat contoh melalui teladan nyata. Karena itu, berikanlah mereka contoh hidup yang bersahaja supaya mereka terdorong untuk melakukan hal yang sama.
Sumber: http://keluarga.com/pengasuhan/agar-anak-tidak-terjebak-gaya-hidup-hedonis
Yuk untuk kita yang nantinya akan menjadi orang tua, kita coba terapkan nilai-nilai ini pada diri kita terlebih dahulu ;) karena menjadi teladan butuh pembiasaan.

Apa yang akan kita lakukan bila kita salah dan disalahkan orang lain? Marah, sedih, diam, menerima? Kebanyakan dari kita pasti membela diri. Meski itu memang salah kita.
Ini terjadi karena pada dasarnya, manusia itu memang suka membela dirinya sendiri. Begitu pula saya. Saya pasti akan membela habis-habisan apa yang menurut saya benar. Manusia tidak mau dirinya terpojok dalam kesalahan. Mereka akan memberontak dan berusaha keluar.
Nah, masalah yang muncul dalam hal perdebatan seperti ini adalah pembenaran siapa yang paling logis, bukan siapa yang benar. Jadi, manusia cenderung subjektif dalam memilih sudut pandang dari suatu permasalahan.
Ini pulalah yang terjadi di Indonesia. Kebanyakan orang-orang negeri ini tetep kekeh dengan apa yang mereka anggap benar. Dengan kata lain, mereka membela pikirannya sendiri tanpa mau membukanya dan memutar sedikit sudut pandangnya.
Padahal esensi dalam perbedaan yang sebenarnya adalah menjunjung tinggi kebenaran, bukan siapa yang paling terlihat benar. Kalau toh memang di antara pihak-pihak tersebut memang benar-benar tidak ada yang benar, paling tidak seharusnya kita bisa mengambil yang mendekati kebenaran dari semua sudut pandang, bukan dari salah satu sudut pandang.
Analoginya seperti ini. Ada beberapa petani cabai, mereka mengeluh harga cabai turun karena berbagai alasan. Namun, bukankah ini justru hal yang postif bagi para konsumen. Mereka beramai-ramai memborong cabai? Pun sebaliknya. Contohnya ketika harga angkot naik, pasti kebanyakan penumpang yang hanya menilai dari sudut pandang mereka sendiri akan marah-marah, nggrundel panjang lebar tentang kenaikan harga angkot ini. Sebaliknya, para sopir angkot justru bahagia karena ada pendapatan lebih.
Manusia sering memandang masalah dari sudut pandang diri mereka sendiri. Termasuk saya. Termasuk pula ketika kita ramai menyalahkan pemerintah tentang masalah ini dan itu tanpa ada saran dan solusi yang bisa kita berikan. Kita juga hanya bisa cenderung menyalahkan tanpa bukti yang valid.
Nah, salah satu alternatif solusi yang bisa dilakukan bila kita belum bisa menjunjung tinggi kebenaran, maka berlapang dada atas perbedaan yang ada itu lebih baik. Rela atas hal yang tidak sesuai dengan diri kita itu lebih menenangkan. Kalau ingin menyampaikan ketidaksetujuannya, ya pelan-pelan disampaikan. Susah memang, namun ini bisa menjaga kerukunan dan mencegah adanya ketersinggungan perasaan satu sama lain.
Pernah sakit hati, kan? Kalau begitu, jangan buat orang lain sakit hati. Kalau kita yang disakiti, ikhlaskan saja. Itu lebih baik.
Marilah, kita sama-sama membela kebenaran bukan pembenaran. Seperti ksatria baja hitam yang selalu membela kebenaran, hehe.
Ditulis oleh: Fadil - simfoninegeri.com
Apa yang benar adalah benar, apa yang salah adalah salah, jangan hanya karena ego mu, hal yang salah kau upayakan agar seolah-olah terlihat benar. Karena orang yang hebat bukan yang tak pernah salah, tetapi ia yang mau mengakui kesalahannya.
 
By synergy human development

Suatu pagi Kang Emil (Ridwan Kamil) mengajak keluarganya keluar dari pendopo menuju alun-alun Bandung. Maksudnya mau bebersih lapangan alun-alun yang pasti kotor sisa acara malam sebelumnya. Dengan semangat '45 kang Emil dan keluarganya memunguti sampah. Dalam hatinya, dia yakin kalau dia lakukan itu, maka ratusan orang masyarakat yang ada di sana akan ikut melakukan hal yang sama. Tapi apa yang terjadi para pemirsa sekalian?
Kang Emil bertepuk sebelah tangan. Bukannya ikut membantu, sebagain besar masyarakat malah menonton sambil berdecak kagum, "hebat ya walikota kita mah rajin banget". Sebagian besar remaja dan ibu-ibu mendekati, tapi bukan untuk membantu, tapi meminta berfoto bersama!
Dari kejadian itu saya mempertanyakan statetmen yang mengatakan bahwa kita krisis keteladanan. Sepertinya kita sekarang tak kurang untuk urusan teladan. Dari buku-buku kisah teladan yang berjilid-jilid, sosok sosok inspiratif Kick Andy yang muncul setiap minggu, hingga pemimpin-pemimpin muda yang bermunculan bak cendawan di musim duren. Yang menjadi masalah bagaimana mendidik masyarakat, warga, dan diri kita untuk meneladaninya.
Keberhasilan Surabaya bukan hanya keteladanan Bu Risma, tapi juga masyarakatnya yang meneladani Bu Risma. Menurut seorang teman, warga Surabaya tak sungkan menegur warga lain yang melanggar aturan lalulintas atau buang sampah sembarangan. Itulah bedanya dengan urang Bandung yang cenderung permisif dan enggan berkonflik. Seharusnya seorang warga harus siap meneladani yang baik jika benar, dan berani menegur jika salah. Baik kepada pemimpin maupun sesama warga.
Tadi sore di lampu merah Asia Afrika, saya melihat mobil di depan saya membuang sampah keluar jendelanya. Dengan reflek saya turun, memungut sampah itu, mengetuk jendela si sopir dan memberikan kembali sampah yang dia buang. Saya melihat expresi kaget dari si sopir. Saya yakin itu pengalaman pertama baginya yang tak akan terlupakan sepanjang hidupnya. Buat saya ini adalah kali keempat melakukan aksi seperti ini. Saya pernah memungut bungkus makanan dan memberikannya lagi pada penumpang minibus yang membuangnya. Di kesempatan lain saya juga pernah menyalip dan memberi peringatan pada seorang ibu yang membuang tisu ke luar jendela. Mirisnya lagi, di mobil itu ada anak-anak sekolah, yang pasti menyaksikan ibunya membuang sampah sembarangan. Tetapi yang paling keren adalah ketika saya memberikan kembali botol air mineral yang dibuang seorang pengendara mobil sedan mewah yang keren. Tak habis pikir, mobil mewah dikendarai pengemudi yang payah.
Saat pertama kali melakukan itu, saya merasa lega dan sukses. Sebab telah ratusan kali saya menyaksikan hal serupa. Tetapi selalu gagal mengalahkan rasa malu, malas dan tidak peduli. Sebagai orang Sunda yang enggan berkonflik, kadang orang sekitar pun menganjurkan, "sudahlah biarin dairpada ribut". Tetapi semakin sering melakukan ini, semakin muncul keberanian. Bahkan saya melakukannya secara demonstratif, tak peduli ini akan dianggap riya. Saya sengaja agar putra putri saya, istri saya dan orang orang di jalan melihat bahwa kita harus mendidik diri kita dan sesama warga.
Masalah warga bukan hanya ketidakdisiplinan di jalan, tapi ketidakjujuran di rumah dan di sekolah. Saat pemerintah Kota Bandung beritikad baik membantu siswa miskin agar mampu mengakses pendidikan, ribuan warga yang bukan miskin berbohong berjamaah mengaku miskin. Dari penyelidikan polisi, salah satu pemalsu SKTM itu adalah seorang notaris bermobil Alphard. Bayangkan, seorang ayah dan ibu (dan pasti diketahui anaknya juga) dari keluarga kaya, bersepakat membuat surat keterangan miskin demi masuk sekolah negeri. Dan itu bukan satu dua, tapi ratusan bahkan ribuan. Akan seperti apa kira-kira masa depan kota ini, jika ribuan warganya ternyata berbohong berjamaah.
Kita punya problem dengan pemimpin-pemimpin yang korup. Tapi problem yang sama juga ada di warga. Pelatihan kepemimpinan diperlukan untuk melahirkan para pemimpin yang bisa jadi teladan. Tapi sepertinya kita juga perlu pelatihan kedipimpinan untuk melahirkan warga yang mampu meneladani.

Ditulis oleh: @irfanamalee
Co-Writer Buku "Mengubah Dunia Bareng-Bareng" Biografi @ridwankamil.
 
By synergy human development

Media, kian hari menjadi kian besar dampaknya, pihak mana yang memegang media, maka ia seakan bisa memegang kendali, mengapa demikian?
Media adalah sumber informasi, terlebih di dunia yang serba digital, persebaran informasi dari sebuah media menjadi sangat cepat dan luas, dan ketika masyarakat tidak memiliki kemampuan untuk berpikir kritis, maka opini mereka bisa diarahkan, dibuat sama dengan apa yang diinginkan oleh mereka pemilik kepentingan.
Bila pihak yang bertentangan bersalah, maka diberitakan dengan 'bangga'-nya, seakan-akan menjadi berita yang trending, sementara ketika internal melakukan kesalahan 'gajah di pelupuk mata' menjadi tak terlihat.
Masih ingat tentang 'si biru' dan 'si merah' saat pemilu lalu? Itu hanyalah contoh kecil, perfilman Hollywood, keorganisasian Internasional, adalah salah satu pembentuk opini masyarakat dalam skala yang lebih besar dan lebih modern.
Maka untuk kita semua para pemuda, janganlah mudah percaya dengan media, jangan begitu mudah percaya dengan informasi yang kita terima, carilah referensi lain dari sebuah informasi, mari kembali bersama-sama kritisi.
Ya! Termasuk apa yang diberikan melalui blog ini, KRITISI!

By synergy human development

Aybsth. Powered by Blogger.