BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebenarnya
manusia hanyalah bagian kecil dari alam ini. Tapi tindakannya yang sembrono dan
serakah menyebabkan banyak spesies punah tiap tahunnya. Manusia yang adalah
makhluk yang mempunyai kemampuan yang melebihi dari makhluk lain di alam ini,
seharusnya mendayagunakan kemampuannya untuk menjaga dan memelihara ekosfer dan
ekosistem. Manusia diharapkan dapat merubah sikapnya dari destruktif ke
konstruktif. Akal budi bisa digunakan untuk memperbaiki alam. Dengan akal budinya,
manusia memiliki kemampuan tidak hanya menghasilkan mesin dan industri yang
bisa merusak alam tetapi akal budi manusia juga mampu “digiring” untuk
menciptakan teknologi yang mendukung kelestarian alam. Contohnya adalah adanya
usaha penanaman tumbuh-tumbuhan atau melakukan penghijauan di daerah kering, di
Arab Saudi.
Salah
satu faktor penyebab terpenting yang perlu diperhatikan dalam proses terjadinya
perusakan lingkungan oleh manusia adalah faktor ekonomi. Secara lebih khusus
lagi adalah segi kerakusan manusia, dimana manusia melakukan eksploitasi tak
terbatas terhadap alam. Alam hanya dilihat sebagai benda penghasil uang. Dunia
sekarang ini berada dalam sistem ekonomi lama, yaitu kapitalisme yang
menjunjung tinggi keuntungan dan mengakibatkan hilangnya nilai kebersamaan.
Sekarang
ini diperlukan adanya perubahan sikap manusia secara mendasar dalam
memperlakukan alam. Begitu baiknya alam ini hingga mampu menciptakan
spesies-spesies yang diperlukan untuk kelangsungan hidupnya. Di dalam alam juga
tercipta simbiosis-simbiosis. Tumbuhan, binatang dari yang paling kecil hingga
yang terbesar dan manusia, terjalin dalam jaring-jaring rantai makanan.
Masing-masing punya perannya sendiri dalam melestarikan alam ini. Semuanya
membentuk suatu komunitas yang saling tergantung. Inilah yang perlu sungguh
disadari manusia. Hewan, tumbuhan dan segala sesuatu bagian dari ekosistem
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari hidup manusia. Merusak dan membunuh
mereka tanpa perhitungan berarti menghancurkan manusia sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari
uraian latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut : “Bagaimana pengaruh pelestarian lingkungan pada kehidupan manusia”.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI KONSERVASI
Pada
awalnya, upaya konservasi di dunia ini telah dimulai sejak ribuan tahun yang
lalu. Naluri manusia untuk mempertahankan hidup dan berinteraksi dengan alam
dilakukan antara lain dengan cara berburu, yang merupakan suatu kegiatan baik
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup, ataupun sebagai suatu
hobi/hiburan.
Konservasi
itu sendiri merupakan berasal dari kata Conservation yang terdiri atas kata con
(together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai upaya
memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara
bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang
merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep konservasi.
B. KEBIJAKSANAAN NASIONAL
Kebijakan
nasional lingkungan hidup merupakan nilai-nilai dasar dalam pelestarian
lingkungan yang terdiri butir-butir sebagai berikut :
Pelestarian
lingkungan dilaksanakan berdasarkan konsep Pembangunan Berkelanjutan yaitu
pembangunan yang memenuhi aspirasi dan kebutuhan manusia saat ini, tanpa
mengurangi potensi pemenuhan aspirasi dan kebutuhan manusia pada
generasi-generasi mendatang. Pembangunan berkelanjutan didasarkan atas
kesejahteraan masyarakat serta keadilan dalam jangka waktu pendek, menengah dan
panjang dengan keseimbangan pertumbuhan ekonomi, dinamika sosial dan
pelestarian lingkungan hidup.
Fungsi
lingkungan perlu dilestarikan demi kepentingan manusia baik dalam jangka
pendek, menengah maupun jangka panjang. Pengambilan keputusan dalam pembangunan
perlu memperhatikan pertimbangan daya dukung lingkungan sesuai fungsinya. Daya
dukung lingkungan menjadi kendala (constraint) dalam pengambilan keputusan dan
prinsip ini perlu dilakukan secara kontinyu dan konsekuen.
Pemanfaatan
sumber daya alam tak terpulihkan perlu memperhatikan kebutuhan antar generasi.
Pemanfaatan sumber daya alam terpulihkan perlu mempertahankan daya
pemulihannya.
Setiap
warga negara mempunyai hak untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat dan
berkewajiban untuk melestarikan lingkungan. Oleh karenanya, setiap warga negara
mempunyai hak untuk mendapatkan informasi lingkungan yang benar, lengkap dan
mutakhir. Dalam pelestarian lingkungan, usaha pencegahan lebih diutamakan
daripada usaha penanggulangan dan pemulihan.
Kualitas
lingkungan ditetapkan berdasarkan fungsinya. Pencemaran dan kerusakan
lingkungan perlu dihindari bila sampai terjadi pencemaran dan perusakan
lingkungan, maka diadakan penanggulangan dan pemulihan dengan tanggung jawab
pada pihak yang menyebabkannya Pelestarian lingkungan dilakukan berdasarkan
prinsip-prinsip pelestarian melalui pendekatan manajemen yang layak dengan
sistem pertanggung jawaban.
C. PARADIGMA PELESTARIAN LINGKUNGAN
Peran
religiusitas, dalam hal ini Islam yang memiliki sumber pertama (masdar
al-awwal) Al-Qur’an dalam memberikan sumbangsih bagi keberlangsungan ekosistem
lingkungan hidup? Sebab, kekritisan sumber daya alam adalah ancaman berat bagi
pembangunan. Dari sinilah, pembangunan berbasis nilai-nilai religius sangat
urgen diperhatikan agar bangsa dapat bepijak secara kokoh dan program
pembangunan pun berkesinambungan serta mengikuti “aturan main” alam.
Agama
mengajarkan bahwa arah pembangunan semestinya digusur pada keteraturan yang
mengikuti kaidah-kaidah alamiah. Ada firman Tuhan yang bermakna pentingnya
menjaga keteraturan ekologis, yakni surat Ar-Ruum ayat 41: “Telah tampak
kerusakan di darat dan di laut karena ulah (eksploitasi dan eksplorasi tak
berkaidah) manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka (akibat) perbuatannya,
agar mereka kembali (ke program konservasi alam)”.
Esensi
ayat di atas, menjelaskan konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable
development) yakni dari kalimat “agar mereka kembali”. Kata “kembali” kalau
ditinjau dengan kerangka pembangunan berwawasan ekologis, bersanding kuat
dengan program pelestarian lingkungan hidup. Misalnya, program konservasi alam,
reboisasi, pajak perusahaan untuk menjaga kelestarian alam, pendidikan
lingkungan hidup untuk anak didik dan pengurusan izin analisis dampak
lingkungan (amdal).
Kearifan
ekologis berbasis agama juga dapat dilihat dari nama-nama surat tentang
keragaman ekosistem dan fungsi ekologis, semisal Al-Baqarah (sapi betina),
Al-Adiyat (kuda perang), An-Naml (semut), Al-Ankabut (Laba-laba), Ath-Thur
(bukit thur) dan masih banyak lagi. Hal ini mengindikasikan bahwa kondisi alam
beserta ekosistem kehidupannya memiliki sisi fungsional yang wajib dipelihara
sebaik-baiknya. Karena itu, alangkah arif rasanya jika bangsa mulai merenungi
kearifan ekologis yang dipesankan oleh-Nya melalui teks dan kita kontekstualisasikan
sehingga bersesuaian dengan perkembangan zaman.
Tujuannya
agar arah pembangunan dihiasi etika keadiluhungan agama, dan ketika
berinteraksi dengan ekosistem lingkungan tidak dimanfaatkannya sembari “angkat
tangan” melestarikan atau malah “cuci tangan” ketika dirinya merusak alam.
Sebab, setiap penganut agama (baca: umat Islam) yang berbudaya tidak boleh
bersikap dan berperilaku destruktif seperti melakukan pengrusakan secara
membabi buta terhadap lingkungan hidup atas dalih pembangunan infrastruktur.
Demikian,
dalam konteks sistem sosial budaya, hampir tiap daerah di kepulauan Indonesia
memiliki indigenous knowledge system masing-masing ketika memperlakukan
lingkungan hidup. Misalnya, dalam tradisi masyarakat Sunda pedalaman terdapat
tiga klasifikasi hutan (leuweung) yang dijelaskan secara gamblang oleh Kusnaka
Adimiharja (1994) dan bermanfaat bagi arah gerak pembangunan.
Pertama,
leuweung sampalan, yakni hutan yang telah mengalami konversi menjadi lahan yang
ditanami dan dijadikan tempat penggembalaan oleh masyarakat. Kedua, leuweung
geuledegan, semacam hutan yang tidak boleh dieksploitasi warga, karena alasan
kepercayaan dalam sistem sosial kemasyarakatan. Ketiga, leuweung titipan,
semacam hutan yang boleh dieksploitasi dan dimanfaatkan warga setelah mendapatkan
izin dari pemimpin adat.
Dari
tiga sistem pengetahuan tersebut, terdapat makna perennial yakni pembangunan
berkelanjutan (sustainable development) dan berparadigma ekologis adalah sebuah
keniscayaan. Sebab selama ini arah pembangunan kerap diinterpretasi dengan
pendekatan ekonomi-sentris saja. Akibatnya, potensi alam banyak terdegradasi
ketika terkena proyek pembangunan, misalnya peristiwa meluapnya Lumpur panas di
Sidoarjo yang menelan kerugian besar ialah salah satu ekses negatif dari
pembangunan yang tak berkaidah.
Kondisi
di atas, tidak semestinya diabaikan oleh para pemerintah agar tercipta
pembangunan yang menghasilkan income ekonomi di satu sisi dan keuntungan
ekologis bagi warga secara berkesinambungan di lain sisi. Maka, konsep
pembangunan di Indonesia mesti menghargai kearifan sistem sosial masyarakat
daerah yang semenjak dahulu selalu berharmoni dengan alam sekitar.
D. PENTINGNYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM UPAYA
PELESTARIAN LINGKUNGAN
Konservasi
sumber daya alam hayati dimaksudkan sebagai upaya pengelolaan sumber daya alam
hayati yang pemanfaatannya senantiasa memperhitungkan kelangsungan
persediaannya dengan tetap memelihara serta meningkatkan kualitas
keanekaragaman dan nilainya. Tujuan melakukan konservasi tersebut adalah untuk
mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan keseimbangan
ekosistemnya, sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan
masyarakat serta mutu kehidupan manusia (Dephut, 1990). Strategi yang digunakan
untuk mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan tiga P (3P), yaitu :
1. Perlindungan sistem
penyangga kehidupan;
2. Pengawetan
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar beserta ekosistemnya;
3. Pemanfaatan secara
lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Proses
perlindungan, pengawetan dapat dilakukan di kawasan konservasi, taman hutan
raya, dan taman wisata alam; mengingat kawasan konservasi itu adalah kawasan
pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Dephut, 1990).
Dari
ketiga strategi tersebut satu dengan lainnya sangat berkait, sehingga untuk
mewujudkan kelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya harus dilakukan
bersama-sama. Artinya kalau yang dilakukan hanya satu aspek, misalnya
perlindungan saja tanpa dibarengi dengan pengawetan dan pemanfaatan, maka akan
menimbulkan resiko biaya pengelolaan yang sangat tinggi, dengan tanpa
memperoleh hasil. Sebaliknya, jika kegiatan tersebut hanya memfokuskan pada
aspek pemanfaatan dengan tanpa memperhatikan pada perlindungan dan pengawetan,
maka yang akan terjadi tentu saja pemusnahan sumber daya alam hayati tersebut.
Perlindungan
Sistem Penyangga Perlindungan sistem penyangga ini dimaksudkan untuk memelihara
proses ekologi yang dapat menunjang kelangsungan dan mutu kehidupan, serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Cara pemanfaatan wilayah perlindungan
dan sistem penyangga hendaknya senantiasa memperhatikan kelangsungan dan fungsi
perlindungan di wilayah tersebut.
Menurut
Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan
Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar habitatnya dapat dilakukan dalam
bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan, pengkajian, penelitian, pengembangan
rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis tumbuhan dan satwa liar.
Untuk
melakukan kegiatan konservasi ex-situ berbagai persyarataan yang perlu
dipenuhi, yaitu: tersedianya tempat yang cukup luas, aman dan nyaman, memenuhi
standart kesehatan tumbuhan dan satwa, serta mempunyai tenaga ahli dalam bidang
medis dan pemeliharaan. Begitu pula kalau ingin melakukan perkembangbiakan
jenis di luar habitatnya, maka persyaratan yang perlu dipenuhi yaitu: dapat
menjaga kemurnian jenis dan keanekaragaman genetik, dapat melakukan penandaan
dan sertifikasi, serta dapat membuat buku daftar silsilah (Dephutbun, 1999b).
Ada
berbagai kelebihan dan kekurangan dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi
ex-situ. Kelebihannya antara lain dapat mencegah kepunahan lokal pada berbagai
jenis tumbuhan akibat adanya bencana alam dan kegiatan manusia, dapat dipakai
untuk arena perkenalan berbagai jenis tumbuhan dan wisata alam bagi masyarakat
luas, berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama yang
berkaitan dalam kegiatan budidaya jenis hewan dan tumbuhan; sedangkan
kelemahannya antara lain, konservasi ex-situ memerlukan kegiatan eksplorasi dan
penelitian terlebih dahulu. Hal ini dilakukan adalah untuk melihat adanya
kecocokan terhadap daerah atau lokasi sebelum kegiatan tersebut dilakukan; di
samping itu pada kegiatan ini dibutuhkan pula dana yang cukup besar, serta
tersedianya tenaga ahli dan orang yang berpengalaman.
Pemanfaatan
kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam hendaknya senantiasa tetap menjaga
kelestarian fungsi kawasan, sedangkan pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar
harus selalu memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, keanekaragaman
jenis tumbuhan, dan satwa liar tersebut.
Pemanfaatannya
dapat dilakukan dalam bentuk pengkajian, penelitian dan pengembangan,
penangkaran, perburuan, perdagangan, peragaan, pertukaran, budidaya tanaman dan
obat-obatan, dan pemeliharaan untuk kesenangan (Dephutbun, 1999b). Khusus untuk
perdagangan jenis tumbuhan dan satwa liar dalam skala kecil dapat dilakukan
oleh masyarakat yang tinggal di dalam atau sekitar kawasan konservasi. Tentu
saja jenis tumbuhan dan satwa liar tersebut adalah yang tidak dilindungi,
sedangkan perdagangan dalam skala besar hanya dapat dilakukan oleh badan usaha
yang telah memperoleh rekomendasi Menteri, di samping harus memiliki berbagai
persyaratan tertentu lainnya (Dephut, 1990).
Terjadinya penurunan
kualitas sumber daya alam ini merupakan suatu indikasi adanya ketidakseimbangan
antara kebutuhan manusia dengan ketersediaan sumber daya alam.
Adanya peraturan
pemerintah yang kurang memberikan penekanan pada upaya pelestarian sumber daya
alam, dan lebih memprioritaskan perolehan pendapatan belaka, maka dapat membawa
dampak yang sulit dihindari dalam pengelolaan sumber daya alam dan
ekosistemnya. Sebagaimana data yang terjadi dewasa ini menunjukkan bahwa laju
pengurangan luas hutan di pulau Sumatera mencapai 2 % per tahun, di pulau Jawa
mencapai 0,42 % per tahun, di pulau Kalimantan mencapai 0,94 % per tahun, di
pulau Sulawesi mencapai 1 % per tahun, dan di Irian Jaya mencapai 0,7 % per
tahun. Adanya pengurangan luas hutan tersebut terjadi akibat proses laju
penurunan mutu hutan (degradasi) dan pengundulan hutan (deforestasi).
Terjadinya
degradasi dan deforestasi hutan tersebut telah memberikan implikasi yang sangat
luas dan mengkhawatirkan bagi kehidupan masa depan manusia. Ada berbagai
masalah yang akan terjadi pada sumber daya alam dan ekosistemnya, jika dalam
penjabaran dan pelaksanaan otonomi daerah tersebut tidak ditangani secara
hati-hati. Masalah yang akan muncul tersebut akan berupa degradasi sumber daya
alam dan ekosistemnya. Sebagai contoh adanya degradasi sumber daya kelautan,
sumber daya sungai dan alirannya, sumber daya hutan, serta adanya berbagai
dampak pencemaran akibat aktivitas pembangunan ekonomi antar daerah, dan
lain-lain. Oleh sebab itu, sumber daya alam yang semula menjadi sumber utama
bagi peningkatan pendapatan daerah, jika pemanfaatannya dalam jangka panjang
tidak disertai dengan dukungan kebijakan yang mengarah kepada upaya perbaikan
dan memperhatikan pelestarian sumber daya alam, maka hal tersebut sudah dapat
diduga akan menjadi sumber konflik antar pemerintah daerah di masa yang akan
datang.
Menyikapi
fenomena degradasi sumber daya alam hayati bersamaan dengan pelaksanaan otonomi
daerah saat ini, maka diperlukan kesadaran kolektif dan serentak pada semua
lapisan masyarakat, baik para penyelenggara pemerintahan, pelaku ekonomi, dan
masyarakat pada umumnya untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah.
Saat
ini kita telah merasakan semangat pembaruan yang semakin tampil dengan wajah
kebebasan yang tidak jelas batas-batas dan arahnya. Hampir semua aspek
kehidupan sekarang telah dilanda gejala tersebut, termasuk kebebasan
pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung mengarah pada perusakan dan
degradasi sumber daya alam itu sendiri. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan
otonomi daerah, memang dituntut untuk dapat menggali potensi agar dapat
menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri, tetapi bukan berarti bahwa
kebebasan menggali potensi ini adalah merusak sumber daya alam yang ada.
Pelaksanaan otonomi daerah tidak perlu terpaku pada perjuangan untuk
memanfaatkan sumber daya alam dan ekosistemnya, jika nantinya yang akan
menanggung segala kerugiannya adalah masyarakat.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa upaya konservasi sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya akan sia-sia, bila hal tersebut tidak disertai
dengan upaya pemberdayaan masyarakat. Kegiatan pemberdayaan masyarakat ini
dapat meliputi peningkatan kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam mengelola
sumber daya alam hayati tersebut.
Strategi
yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan melalui suatu
kegiatan kerjasama antara pihak Kawasan Konservasi, Perguruan Tinggi, dan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Diharapkan dari upaya ini masyarakat dapat
berperan aktif dalam kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya, sehingga pada akhirnya kesejahteraan masyarakat dapat meningkat
pula.
Kegiatan
penyelamatan lingkungan harus membawa kesejahteraan bagi masyarakat yang ada di
sekitar kawasan konservasi. Konservasi lingkungan yang meninggalkan masyarakat
lokal hanya akan menimbulkan konflik dan berujung pada kegagalan program
konservasi. Karena itu, kepentingan masyarakat harus diakomodasi dengan
menjadikan mereka mitra konservasi.
Tujuan
konservasi alam tidak akan tercapai tanpa kerja sama dengan masyarakat lokal
karena mereka sangat tergantung pada sumber daya alam. Masyarakat harus tetap
memperoleh keuntungan ekonomi dan sosial dari kegiatan konservasi itu.
Kegiatan
pelestarian lingkungan akan berhasil bila masyarakat lokal merasakan manfaat
dari kegiatan itu secara langsung. Selama ini kegiatan konservasi lingkungan
selalu diikuti konflik antara masyarakat dan pengelola kawasan konservasi.
Masyarakat di sekitar kawasan yang selama ini bergantung pada sumber daya alam
tiba-tiba terputus aksesnya untuk memperoleh penghidupan dari alam.
Manfaat
kawasan konservasi bagi masyarakat akan semakin tegas bila didukung kebijakan
pemerintah dalam mekanisme pembayaran jasa lingkungan dan manajemen kolaborasi.
Dalam manajemen kolaborasi, masyarakat dan semua pihak terkait berbagi peran
dalam pengelolaan kawasan. Mekanisme ini bisa meningkatkan akuntabilitas dan
efektivitas pengelolaan kawasan.
Penerapan
jasa lingkungan merupakan salah satu cara pemberian imbalan yang layak bagi
masyarakat konservasi. Sebagai contoh adalah mekanisme pembayaran jasa lingkungan
di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Perusahaan Daerah Air Minum di sana membayar
jasa lingkungan ke petani yang telah menjaga hutan di daerah tangkapan air
Gunung Rinjani.
Wacana
pembayaran jasa lingkungan seperti ini harus terus diangkat. Kita sering tidak
memikirkan dari mana air yang kita minum selama ini. Bagaimana jika tidak ada
masyarakat yang menjaga hutan di daerah tangkapan air.
Langkah
lain yang penting dilakukan adalah meminta kontribusi dan penghargaan dari
kelompok masyarakat penerima manfaat langsung kegiatan konservasi untuk ikut
menanggung biaya konservasi. Hingga saat ini, sebut saja konsumen air minum
PDAM maupun air botolan, belum menghargai dan membayar jasa keberadaan kawasan
konservasi dan upaya tani-hutan di daerah tangkapan air dalam mengkonservasi
wilayah tersebut.
Timbal
balik ekonomi dari kegiatan konservasi tersebut membutuhkan peningkatan
kapasitas masyarakat. Daya tawar masyarakat harus ditingkatkan melalui berbagai
pelatihan dan fasilitasi ke pemerintah.
B. SARAN
Untuk
mewujudkan generasi makmur dan sentosa, bijaksana rasanya jika arah gerak
pembangunan yang dikembangkan berpijak pada paradigma agama, budaya lokal, dan
berwawasan lingkungan. Dalam bahasa lain, mencetuskan pembangunan berkelanjutan
(sustainable development), berwawasan lingkungan (eco-development) dan bisa
juga kita sebut dengan konsep eco-religious, sebab memelihara lingkungan adalah
perintah suci dari sang pencipta alam raya ini, Allah SWT. Karena itu, mari
kita gulirkan program pembangunan berkelanjutan yang berwawasan agama, budaya
lokal, dan berparadigma ekologis mulai detik ini.
LAMPIRAN
Upaya yang dilakukan
masyarakat dalam pelestarian lingkungan dengan menjaga, melakukan pengawasan,
penanaman, penghijauan hutan serta membentuk komunitas pencinta lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Kehutanan. 1990. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya. Jakarta.
Wardojo,
W. 2001. Strategi Pengelolaan Kawasan
Konservasi dalam Rangka Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat. Jember:
Penerbit Universitas Jember.
Assalammualaikum, terima kasih info yang bergunanya.!
ReplyDeletenumpang link Cara Menyembuhkan Infeksi Saluran Pencernaan